Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Mencermati seluruh hasil perubahan yang telah dilakukan oleh MPR, ada beberapa catatan penting yang dapat dikemukakan. Pertama, kesemua pasal
telah dilakukan perubahan kecuali Pasal 4, 10 dan Pasal 12. Kedua, terjadi (1) penambahan 4 bab baru (dari 16 bab menjadi 20 bab), (2) penambahan 25 pasal baru (dari 37 pasal menjadi 72 pasal), dan (3) penambahan 120 ayat baru (dari 49 ayat menjadi 169 ayat). Ketiga, dihapusnya penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945. Perubahan yang begitu besar menimbulkan implikasi terhadap struktur ketetanegaraan, yaitu terjadinya perubahan kelembagaan secara mendasar (lihat bagan). Implikasi perubahan tidak hanya terjadi terhadap struktur lembaga-lembaga negara tetapi juga perubahan terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.
Sebelum Amandemen
Setelah Amandemen
1. MPR
2. Presiden / Wapres
3. DPR
4. DPA dan BPK
5. MA
1. MPR     
2. DPR     
3. DPD
4. MK
5. BPK     
6. MA
7. MY

Beberapa Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Pertama, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut.
Kedua, dihapusnya sistem unikameral dengan supremasi MPR dan munculnya sistem bikameral. Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan representasi wilayah (daerah). Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena selama ini Utusan Daerah dalam MPR tidak ikut membuat keputusan politik nasional dalam peringkat undang-undang.
Ketiga, perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman “pahit” yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama Orde Baru dan pemilihan Presiden tahun 1999. Empat alasan mendasar (raison d’etre) pergantian ini.
1. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih.
2. Pemilihan langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.
3. Pemilihan langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya.
4. Pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR.
Keempat, mekanisme impechment yang semakin jelas. Sebelum dilakukan perubahan, dalam pasal-pasal UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan mengenai impeachment. Instrumen untuk melakukan kontrol ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “…Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawab kepada presiden”.
Berdasarkan penguraian tesebut, pelaksanaan SI akan sangat tergantung kepada dua hal. Pertama, adanya pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dalam bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR setelah dilakukan Memorandum Pertama dan Memorandum Kedua.
Dengan adanya perubahan UUD 1945, perdebatan-perdebatan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan impechment ke depan dapat dikurangi secara signifikan dengan adanya rumusan kaedah secara lebih jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945
Kelima, dihapusnya DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Sebelum dilakukan Amandemen Keempat, kedudukan konstitusional DPA sebagai lembaga tinggi negara dapat ditemui dalam Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPA berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan “Dewan ini ialah sebuah Council of State yang berwajib memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Ia hanya sebuah badan penasehat belaka”.
Keenam, kekuasaan kehakiman tidak hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang terhadap undang-undang dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan Mahkmah Konstitusi, menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).

Makalah ini disampaikan sebagai persyaratan mata kuliah Kewaranegaraan,
Jurusan Pendidikan Matematika, Undiksha Singaraja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar