Konsep “THK” (Tri Hita Karana) Dalam Pengembangan Ekowisata Di daerah Kubu, Karangasem

Upaya pemerintah daerah Karangasem dalam pengembangan Ekowisata di daerah Kubu masih terkesan kurang. Karena
pembangunan infrastruktur pariwisata di Kecamatan Kubu selama ini masih mengandalkan pesisir pantai Kubu, diantaranya objek wisata menyelam di daerah Tulamben.
Daerah ini djadikan kawasan utama pariwisata di daerah Kubu, sebab potensi yang terkandung dalam kawasan wisata ini menawarkan keindahan bawah laut dengan keasrian terumbu karang dan spesies ikan yang beraneka ragam. Sedangkan dalam pengembangan wisata dan potensi daerah Kubu yang mengandalkan tanaman lontar, pemerintah baru bertindak sebagai  distributor produk olahan kerajinan sederhana dari tanaman lontar untuk dipasarkan atau diperkenalkan di pameran kesenian daerah yang rutin dilaksanakan menjelang peringatan hari kemerdekaaan Indonesia. Pemerintah beranggapan, dengan cara ini masyarakat didaerah Kubu seperti Muntigunung dan Pedahan tergerak untuk mengolah tanaman lontar menjadi barang kesenian. Akan tetapi, sampai saat ini upaya tersebut belum mampu mengangkat sektor ekonomi di Kecamatan Kubu, utamanya di daerah Muntigunung dan Pedahan.
Didalam meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat Kubu terutama dalam bidang pariwisata, selain melihat potensi yang ada pemerintah juga harus memperbaiki tatanan sosial masyarakat setempat, budaya, dan mental. Hal tersebut penting dilakukan, karena bisa menjadi faktor yang berpengaruh dalam memotivasi masyarakat untuk memperbaiki hidup dari meng-gepeng menjadi masyarakat Kubu yang kuat dan mandiri. Maka dari itu diperlukan konsep kuat yang menjadi pondasi dasar didalam pengembangan pariwisata berbentuk Ekowisata.
Pondasi tersebut bisa dibangun sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat, ataupun melalui sebuah konsep filosofis yang dipercaya masyarakat Hindu di Bali yang menuntun ke arah hidup masyarakat yang harmonis. Salah satu konsep filosofis Hindu yang juga dijadikan kearifan lokal tersebut adalah THK (“Tri Hita Karana”) . Secara etimologi, konsep Tri Hita Karana yaitu Tri artinya tiga, Hita berarti sejahtera, dan Karana adalah sebab, terdiri dari parhyangan (lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial) dan palemahan (lingkungan alamiah). Secara luas konsep Tri Hita Karana dapat diartikan sebagai tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lain, dan manusia dengan lingkungan untuk mencapai keselamatan dan kedamaian alam semesta.
Aspek parahyangan menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan spiritual sebagai refleksi dari hakikat manusia sebagai makhluk homo-religius. Maksudnya, makhluk yang memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan kodrati atau supranatural Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Sebagai upaya mencapai kesejahteraan hidup, manusia senantiasa berusaha menjaga interaksi harmonis dengan lingkungan spiritual, yang terekspresikan dalam bentuk sistem religi, mencakup emosi keagamaan, tindakan-tindakan keagamaan, fasilitas keagamaan dan komunitas keagamaan. Aspek pawongan menciptakan kehidupan harmonis yang selalu menjadi dambaan setiap orang. Ini hanya bisa dicapai melalui kerja sama yang serasi dengan sesama manusia. Tuntutan kerja sama ini umumnya didorong oleh adanya ketidakpastian, keterbatasan, dan kelangkaan sumberdaya yang dimiliki manusia, sehingga jalinan sosial dengan sesama menjadi suatu keharusan.
Aspek selanjutnya yaitu palemahan. Palemahan berasal dari kata "lemah", yang berarti tanah/pekarangan rumah/wilayah pemukiman. Secara umum palemahan ini merupakan salah satu aspek dalam THK yang berhubungan dengan lingkungan fisik. Terkait lingkungan desa/kelurahan terdapat banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam implementasi aspek palemahan tersebut. Pemerintah, kalangan dunia usaha, dan masyarakat semestinya mempunyai komitmen yang jelas dalam menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Komitmen bersama ini perlu dijabarkan dalam rencana rencana aksi yang kemudian dilaksanakan secara nyata.
Implementasi konsep THK dalam pengembangan Ekowisata di daerah Kubu sangat ditentukan oleh cara penanganan ketiga aspek yang terkandung dalam THK, mulai dari aspek parahyangan, pawongan, dan pelemahan. Ketiga aspek ini jika diimplementasikan dalam pengembangan Ekowisata, akan menjadikan daerah Kubu tidak hanya terkenal dengan konservasi tanaman lontar, tetapi juga keharmonisan masyarakatnya dalam menjaga nilai luhur, dan budaya setempat. Sehingga daerah ini menjadi kawasan Ekowisata yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Adapun implementasi ketiga aspek THK dalam pengembangan Ekowisata di daerah Kubu adalah :
1.      Parahyangan.
Aspek Parahyangan merupakan salah satu aspek penting dalam THK. Aspek ini menyangkut keyakinan dalam beragama masyarakat Bali pada umumnya. Dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Parahyangan merupakan menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa. Implementasinya dapat kita lihat dari masyarakat Kubu dan masyarakat Bali pada umumnya, yang mengenal upacara Tumpek Ngatag. Upacara ini mengandung makna bahwa masyarakat setempat memperingati hari tumbuhan, sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ini bisa memiliki multifungsi dalam pengembangan Ekowisata. Karena selain sebagai tradisi penghormatan kepada Tuhan, upacara ini bisa dijadikan penarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah Kubu. Upacara ini juga merupakan bentuk aplikasi nilai spiritual ke dalam pelestarian lingkungan.
2.      Pawongan.
Aspek Pawongan dalam dalam konsep THK berarti hubungan  harmonis antar sesama manusia, dimana aspek ini terkandung nilai sosial yang mengharuskan masyarakat setempat untuk saling menghargai, saling menolong, dan saling menghormati. Dalam kaitannya dengan dunia Ekowisata, pengejewantahan aspek pawongan dalam pengelolaan pariwisata memposisikan pranata-pranata sosial masyarakat lokal sebagai acuan bagi pola-pola hubungan baik antarsesama pelaku pariwisata maupun antara pelaku pariwisata dengan lingkungan sosial setempat. Hal ini tidak saja berimplikasi kepada terciptanya hubungan yang harmonis antarsesama manusia sebagai makhluk sosial, tetapi sekaligus juga merupakan revitalisasi terhadap tatanan sosial masyarakat setempat. Aspek ini penting untuk ditumbuh kembangkan karena keterbukaan, keramahan, dan kesosialan masyarakat daerah Kubu, merupakan modal utama sebagai daya tarik pengunjung untuk datang menikmati kawasan Ekowisata yang berbasis tanaman lontar.
Bentuk Ekowisata yang mengedepankan nilai sosial masyarakat Kubu adalah program Homestay atau lebih dikenal dengan rumah singgah. Ekowisata Homestay seperti ini, umumnya menawarkan pengunjung menginap di hotel atau villa. Tetapi, untuk lebih menonjolkan sikap sosial dan budaya masyarakat Kubu, pengunjung akan menginap di rumah-rumah warga sebelum atau saat menikmati kawasan Ekowisata di daerah Kubu. Selain Homestay, cermin hubungan harmonis antar manusia dapat juga dilihat dari budaya Megibung yang merupakan ciri khas masyarakat Karangasem. Dalam budaya Megibung ini, pengunjung akan diajak untuk makan bersama penduduk setempat dengan wadah Nare ( nampan/piring yang lebar) dimana dalam satu sela atau satu kelompok makan berjumlah maksimal 8 orang. Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Makna sosial pada budaya Megibung ini adalah kebersamaan dalam kesederhanaan, yaitu saling berbagi makanan antar sesama. Dari budaya ini tercermin hubungan yang harmonis antar penduduk setempat dengan wisatawan yang akan berkunjung. Sehingga memperkaya nilai Ekowisatadi daerah Kubu yang akan ditawarkan dalam dunia pariwisata
Dengan bentuk Ekowisata Homestay dan tradisi megibung yang seperti ini, masyarakat setempat dihadapkan untuk mengedepankan sikap sosial. Masyarakat Kubu harus siap berkomunikasi, dan beinteraksi dengan pengunjung yang datang. Mulai dari etika menyambut pengunjung, mempersilahkan pengunjung, atau sebagai Guide dalam memandu pengunjung menikmati kawasan Ekowisata di daerah Kubu. Dari sinilah masyarakat harus mempunyai konsep THK dari segi aspek  Pawongan. Apabila masyarakat Kubu sudah mengimplementasikan aspek Pawongan dengan baik, maka pengembangan Ekowisata di daerah Kubu akan berjalan lancar.
3.      Palemahan.
Pengejewantahan aspek palemahan dalam pengelolaan pariwisata menjunjung tinggi kearifan-kearifan ekologi masyarakat setempat. Aspek Palemahan dapat diwujudkan dengan penataan ulang (revitalisasi ) tanaman lontar, reboisasi (penanaman kembali), dan penghijauan. Berdasarkan klasifikasi kawasan revitalisasi, daerah Kubu termasuk ke dalam fungsi revitalisasi kawasan pegunungan/perbukitan. Hal ini disebabkan daerah ini memang berbukit-bukit yang sebagian daerahnya cukup gersang akibat letusan gunung Agung tahun 1963 silam. Meskipun demikian, daerah Kubu sangat cocok ditumbuhi tanaman lontar, hal ini terlihat dari penyebaran tanaman lontar di daerah ini cukup banyak, akan tetapi belum tersebar secara merata di masing-masing daearah di wilayah Kubu. Berdasarkan hal tersebut, penataan ulang tanaman lontar ini penting dilakukan, mengingat potensi daerah ini sebagai sentra ekowisata berbasis tanaman lontar cukup potensial. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar